GPS Pemantau Mobil

GPS Pemantau Mobil
Tgs Komunikasi Pemasaran

Rabu, 18 Juni 2008

Yuk Belajar Bikin WEB...

Temen-temen yang pengen punya web sendiri Hayu Gabung... Kita saling bertukar pikiran dan,saling mengoreksi dan menuangkan aspirasi kita dalam sebuah wadah persahabatan bersama.
Se'nggaknya kita bisa dapet temen baru N' ...... Memacu wawasan kita... So More We can to Get Here...
Dalam forum ini kita Fair aja Ok's... Yahhhh... G'chu dech... Yang Kurang Memungkinkan Online terus ato yahhh..... Tau sndiri kan... Belum murah2 banget tarif ngnet skrAng Cuey ! "kcuali sobat yang dah punya line sndiri di rumah" So kita Bisa Membuka jalur komunikasi Back Door Donk ? Kenapa Nggak ??' Toh Kita kan rata2 punya Hobi yang sama Tuh... Apa Coba ???? MEMBACA So Pasti .... ! eits ...!!! Jangan GeEr Dulu Sob... Tapi yang kita baca SMS man... ! Tul Ga ??? "Yang bilang Nggak Berarti gak punya Pulsa !"
Kita kan main Fair niehh........... So cantumin aja Deh Apa yang Pengen Kamu Cantumin Di sini...
no HapE & Ukuran sePaTu // HoBi.... % Soulmate Kamu Mungkin.. Ato ??? Yang Masih Jomblo> Hayu Kita Bantuin... Yang masih Kurang hayu lah kita Omongin ... Di Tunggu Yahhh...

Pendidikan Penting Namun.........

Belum lama ini sepupu saya lulus program S1 di sebuah perguruan tinggi Swasta. Rima lulus dengan indeks prestasi (IP) menakjubkan dan berpikir untuk langsung melanjutkan pendidikan ke jenjang S2 atas rekomendasi beberapa dosennya. Dia sendiri memilih untuk kerja dulu, hitung-hitung menimba pengalaman sebelum melanjutkan kuliah. Sekadar berbagi kebingungan, Rima minta pendapat saya. Wah, bakalan repot nih. Saya sendiri bukan jebolan S2 dan khawatir bias kalau merekomendasikan apapun. Lebih lucu lagi tidak lama setelah Rima kontak saya, orang tuanya telpon dan minta saya menasehati Rima untuk langsung lanjut kuliah. Gimana dong?

Tidak ada yang jelek dengan melanjutkan pendidikan. Coba lihat iklan lowongan kerja di surat kabar yang mensyaratkan kelulusan S1 dengan minimum IP tertentu untuk menempati posisi tertentu. Beberapa perusahaan lain bahkan sudah mensyaratkan kelulusan S2 untuk bergabung. Lulus S2 atau memiliki gelar MBA tentunya akan memperbesar peluang karir. Belum lagi faktor non-teknis seperti meningkatnya PD (baca: percaya diri), calon boss berasal dari almamater yang sama, dan lain-lain. Benarkah demikian?

Pengalaman 12 tahun sebagai head-hunter membuat saya yakin kalau peningkatan pendidikan tidak selalu berbanding lurus dengan perolehan karir yang luar biasa. Dengan bahasa lain, bagi mereka yang berharap memperoleh perbaikan karir dan kehidupan secara otomatis dengan sekolah lagi, bersiap-siaplah kecewa. Sebaliknya, bagi mereka yang merasa tidak memiliki pendidikan formal memadai, bukan alasan untuk berputus asa dan tidak membangun karir sesuai dengan yang dikehendaki.

Lowongan Kerja. Are you the one we have been looking for?

The Amrop Hever Group, perusahaan tempat saya bekerja, adalah “biro jodoh” bagi perusahaan-perusahaan yang mencari professional-professional untuk posisi-posisi kunci. Istilah kerennya, executive search. Pelakunya, seperti saya sendiri dijuluki head-hunter. Spesialisasi Amrop Hever memang untuk mencari posisi manajemen senior. Hampir setiap hari saya menerima CV dari pencari kerja atau mereka yang mencari posisi lebih baik dalam karir. Sebagian besar lulusan S1, tapi tidak sedikit lulusan D3, S2 bahkan S3. Hampir setiap minggu saya bertemu dan ngobrol-ngobrol dengan kandidat yang akan kami ajukan. Setiap diskusi adalah kesempatan baik untuk bertukar informasi dan belajar, apapun itu. Faktor pendidikan, walaupun menjadi pertimbangan, bukanlah elemen yang mendapat perhatian utama. Secara umum, hal-hal menjadi prioritas dalam mempertimbangkan seseorang untuk posisi senior antara lain: reputasi, track records, integritas, leadership skill, kemampuan berkomunikasi dan kebisaan bekerjasama dengan siapapun.

Pendidikan tidak dengan serta merta menjamin posisi yang dikehendaki. Bagi yang sudah mengalokasikan dana cukup besar dan waktu cukup panjang untuk sekolah, tentu pernyataan ini tidak mudah untuk dijelaskan.

Memang menyenangkan setiap kali melihat jenjang karir professional yang “mulus”. Lulus S1, kerja sebentar, ambil S2, lulus, kerja lagi hingga memegang posisi penting di perusahaan. Kenyataannya, cerita karir seperti ini bukan mayoritas. Saya tahu eksekutif senior bank yang “hanya” lulusan D3 sekretaris. Ada lagi pimpinan maskapai penerbangan yang “cuma” berijazah SMA namun punya pengalaman informal segudang yang membuat dirinya disegani pada industri tersebut.

Teman saya, Peter, baru saja menyelesaikan disertasi program S3 di sebuah perguruan tinggi terkemuka di Eropa. Selain berintelektualitas tinggi, Peter punya kepribadian yang menyenangkan. S3 adalah cara Peter untuk mendapatkan kebebasan berkarya. Tidak lagi mau kerja sebagai karyawan, Peter juga tidak punya minat untuk jadi pengusaha. Keinginan dia adalah untuk kerja sebagai konsultan bidang spesifik bagi perusahaan besar untuk waktu tertentu. Sisa waktu dihabiskan untuk mengejar hobi-hobi eclectic antara lain menulis novel, diving dan back-packing. Bagi Peter, pendidikan formal adalah alat untuk melengkapi visi jangka panjang pribadi. Sounds like a good plan. And he is on track.

Lain lagi cerita sahabat saya, Doni, jebolan S1 namun sudah masuk jajaran direksi pada sebuah perusahaan multi-finance. Pada usia yang belum 30 tahun, Doni termasuk orang yang saya kagumi. Selain teman ngobrol yang asyik, dia dewasa dan sangat tahu apa yang dia kehendaki dalam karir dan kehidupan. Dalam banyak kesempatan berdiskusi, kami sering bertanya satu sama lain soal mengapa belum ambil S2. Doni selalu bilang kalau suatu saat dia akan ambil S2 – saat dia perlu dan saat ilmu yang dibutuhkankan tidak bisa diperoleh dari jalur lain. Sangat jauh dari kesan sombong, soal pendidikan formal, Doni justru mengambil pendekatan praktis. Sama seperti Peter, Doni has a plan. And he, too, is on track.

Education gives you the confidence to know you have something to fall back on!

Pendidikan formal (dan pencapaian nilai dalam prosesnya) adalah sistem benchmarking paling mudah bagi dunia usaha untuk menyaring pegawai sesuai dengan kebutuhan. Dengan mensyaratkan lulusan S1, perusahaan mempunya ekspektasi minimal hal-hal yang telah dipahami dan bisa dikerjakan oleh lulusan S1 tanpa harus menyebutnya secara detail. Bisa dibayangkan sulitnya menyaring tenaga kerja tanpa adanya persyaratan jenjang pendidikan dan pencapaian nilai. Asumsinya, semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin tinggi pula tingkat intelektualitas, logika dan pemahaman atas ilmu.

Namun apakah dengan bermodalkan S2, pekerjaan idaman akan kita peroleh? Sebelum menjawab pertanyaan itu, apakah kita sudah punya gambaran tentang pekerjaan idaman? Mana yang kita kejar, pekerjaan idaman atau karir idaman? Mengapa kita mengambil S1? Mengapa kita berniat melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya? The questions are more relevant than the answers.

Seorang pemikir Jerman pernah bilang bahwa pendidikan bisa didapat di sekolah, di rumah dan satu lagi yang sering dilupakan, pendidikan juga diperoleh diantara rumah dan sekolah. Kalau benar demikian, sekolah atau pendidikan formal, hingga jenjang apapun hanya akan memberikan maksimal 1/3 dari total kebutuhan. Apakah kita sudah mempertimbangkan cara memperoleh 2/3 yang lain?

I hear, I forget.

I see, I remember.

I do, I understand.

Orang bijak akan memilih jalannya sendiri. Tidak ada jaminan jalan yang dipilih akan selalu berhasil, namun paling tidak akan selalu ada pembelajaran. Dalam kaitannya dengan pendidikan, meremehkan hal yang bisa dipelajari di luar jalur formal akan berdampak buruk pada proses pengembangan diri. Termasuk peluang untuk belajar saat tidak sekolah.

Pendidikan formal adalah modal dalam berkarir. Lebih tepat lagi, pendidikan formal adalah 1/3 modal berkarir. Ketimbang mengejar gelar dan angka IP (indeks prestasi), ada baiknya energi dipusatkan untuk memastikan bagaimana gelar diperoleh dan bagaimana angka IP diraih. Kejar yang lebih esensial seperti ilmu itu sendiri, common sense dan integrity. Ini bisa diperoleh kapanpun, dari manapun dan dari siapapun.

Pendidikan yang ideal akan mengajarkan CARA berpikir (how to think) bukan APA yang harus dipikir (what to think). Kesuksesan karir berkaitan erat dengan knowing the why (alias passion) dan having the tools (alias attitude, ability & effort).

Knowledge comes, but wisdom lingers

Hingga penulisan artikel ini, saya hanya tahu beberapa cara untuk “belajar” alias membuat saya ingat akan sesuatu hal. Pertama, ingat melalui pengulangan. Ibu saya mengajarkan untuk mengulang-ulang apapun yang hendak diingat. Kedua, ingat karena pengalaman yang traumatik. Saya masih ingat dengan jelas sampai sekarang saat saya jatuh dari motor. Saya ingat warna baju yang saya pakai, para sahabat yang mengantar saya ke rumah sakit dan peningnya kepala selama berhari-hari. Cara ketiga yakni melalui penemuan diri sendiri (self-discovery). Apapun yang saya alami prosesnya, saya akan lebih mengingatnya. Ini semua adalah bagian dari proses pendidikan.

In the nutshell…

· Pendidikan adalah investasi paling baik. Kalaupun kita kehilangan segalanya, so what? Segala hal yang kita pahami adalah power. Dan semakin banyak kita paham, semakin powerful kita.

· Pendidikan adalah segala hal yang kita pelajari di sekolah, di rumah dan diantara rumah dan sekolah.

· Khusus untuk pendidikan formal, lupakan status, gelar dan nilai. Nikmati saja proses pembelajarannya.

· Apapun yang bisa kita pelajari, bisa juga dipelajari orang lain – perbedaannya hanya pada hati dan pikiran kita. Artinya, pendidikan akan bermanfaat secara maksimal apabila kita punya visi atas hidup dan karir.

Setelah berpikir panjang, saya katakan pendapat saya pada Rima: Pilihan untuk lanjut sekolah atau kerja dulu sama baiknya dan sama buruknya. Jawab dulu alasannya dan pilihan akan dijalankan dengan sepenuh hati. Kalau mau lanjut ambil gelar S2, that’s fine. Why do you want that? Sebaliknya, kalau mau kerja dulu, that’s also fine, if you know the why.

Sekali lagi, pendidikan itu penting tapi bukan segalanya!

Being Loyal: company vs profession

Being loyal: company VS profession

Tidak ada satu pekerjaan yang sempurna. Ayah saya kerja untuk perusahaan yang sama selama lebih dari 30 tahun hingga pensiun. Saat saya tanya resep beliau bisa loyal dan bekerja selama itu; Ayah bilang pilihan-pilihan lain, kalaupun ada, dipandang tidak lebih baik dari pekerjaan yang dijalani. Sulit membayangkan hal yang sama terjadi pada kita sekarang. Kerja 5 tahun untuk sebuah perusahaan saja sudah masuk kategori “sesepuh”. Selain memang karena bergerak pada bidang yang berhubungan erat dengan karir para professional, pilihan karir saat ini memang semakin beragam dan tidak jelas. Saya kenal secara pribadi beberapa professional handal yang telah pindah kerja lebih dari 5 kali dalam waktu 10 tahun terakhir. Bagaimana dengan anda?

Belasan tahun lalu dunia kerja hanya mengenal posisi Direktur Personalia. Ia adalah orang nomor satu yang mengurus tenaga kerja dalam perusahaan. Istilah “Personalia” berganti jadi “Sumber Daya Manusia”, untuk bergeser menjadi “Human Capital”, untuk berevolusi menjadi istilah yang lebih lazim dan up-to-date menjadi “Talent Management”.

Perubahan istilah juga dibarengi perubahan makna sebutan itu sendiri. Kalau kata “personalia” cenderung menggambarkan urusan pengelolaan administrasi tenaga kerja, istilah “talent management” punya makna lebih spesifik yakni pengelolaan talent dalam perusahaan – talent sendiri berarti ability, kelebihan, kontribusi individu sebagai pekerja. Apabila seorang Direktur Personalia menyibukkan diri pada aspek pengelolaan bayar gaji tepat waktu, perhitungan cuti dan hal-hal administratif lain; seorang Direktur Talent Management akan memfokuskan perhatian pada cara-cara mengenali talent setiap tenaga kerja serta membangkitkan dan mempertahankan motivasi mereka.

Saya tidak tahu soal tomat, saya ahli biji tomat…

Dunia kerja semakin menuntut spesialisasi. Untuk urusan pengelolaan tenaga kerja saja telah terbentuk banyak sekali spesialisasi. Ada ahli compensation & benefit, ada ahli organizational development, ada spesialis industrial relations dan seterusnya. Belum lagi bidang-bidang lain yang dulu tidak ada namun ramai. Bayangkan juga bidang-bidang lain yang nantinya akan ada.

Banyak sekali perubahan yang terjadi, dan akan terus terjadi. Pasar (market) bergeser dari domestik menjadi global. Hyper-competition mewarnai setiap aspek kegiatan usaha. Mekanisme kerja hierarki/birokratis secara perlahan berevolusi menjadi networking. Profesional generalis tetap ada walaupun akan semakin banyak ditemani oleh professional spesialis, dan professional dengan keahlian multidimensi.

Bagi para professional, perubahan juga tidak terelakan. The only thing that will never change is change itself! Jenjang karir tidak lagi tunggal dan linear. Pilihan semakin banyak, pergerakan karir bisa ke samping, ke atas, keluar… Motivasi bergeser dari awalnya murni money/status-oriented, sekarang diwarnai hal-hal seperti kesehatan, freedom, satisfaction dan happiness.

Bagaimana dengan job security (baca: harapan bahwa perusahaan akan sepenuhnya “mengurus” kebutuhan kita)? Kalau masih ada yang berpikir job security bisa diperoleh dengan memberikan loyalitas, maka ujungnya tidak akan jauh dari kekecewaan. Apakah pelajaran dari Enron, Worldcom, Lucent Technologies sudah dilupakan? Berapa banyak karyawan puluhan bank-bank yang ditutup sejak 1998 menyadari bahwa “loyalitas” tidak berarti banyak saat tidak ada lagi tempat untuk kita memberikan loyalitas. Dalam skala lebih kecil namun sering, merger dan akuisisi telah dan akan terus menjadi bagian kehidupan professional.

Make sure when you get ready to die you don’t look back and say “I didn’t live”!

Pertimbangan perusahaan dalam memilih professional tidak lagi didasarkan pada loyalitas. Walaupun disuarakan dengan cara berbeda, secara umum perusahaan memprioritaskan professional yang mampu menawarkan knowledge, skills, attitude, entrepreneurial orientation dan communication.

Bagaimana dengan para professional sendiri? Satu-satunya job security yang tersisa adalah keinginan untuk terus belajar segala hal dan kesetiaan pada profesi masing-masing.

Apakah kita harus takut dan khawatir? Jawabannya terserah anda. “We cannot change life but we can change the way we look at life.”


Persada Ada yg kawin euy....